Hanya kamu yang slalu mengajarkanku tentang kesabaran ini, dan dirimu
juga yang selalu mengingatkanku untuk selalu menjaga hati yang kumiliki,
memang hati ini hanya untuk dirimu yang ku sayang
Jangan pernah berubah untuk mencintaiku, karena aku pun kan selalu
mencintaimu, dan hanya satu yang aku minta engkau tetap setia selamanya
denganku
Wiwit kok tulisake tresna iku Manuk-manuk kepodang padha geguyonan Ing pang-pang godhonge waru Ijo enom lelagone langit biru Srengenge isuk kang mlethek ing ati sumunar Martakake dhina bakal ora kamendungan
Wiwit kok kandhak’ake tresna iku Liwat kali dhak kintirake prau godhong pring Amrih bisa lelayaran aneng segaranining atimu Apepayon langit ing pucuking alun Banjur dak tunggu tekane nggawa warta
Wiwit kok kidhungake tresna iku Apa aku kudu lumaku sadhuwure angin lan segara Njupuk kembang srengenge kang mlethek Banjur dak slempitake ing kupingmu Kareben nambahi brantaning ati
Sanjerone ati iki,Yayi Ana panandhang,kirane mung kowe kang bisa mangerteni Liwat getering angin kang sumilir Sadawaning laku lan sepi tak ceritakake
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai
prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu
ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek
setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala
permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada
ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin,
setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak
ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh,
sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis
itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek
agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya.
Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan
pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak
seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu
dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka.
Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para
pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun
ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras
keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan
bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan
dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa
jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan
yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya
diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang,
si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali
didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si
ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu
teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah
anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka
itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika
perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis
memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.
Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis
memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh
tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu,
namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata,
seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis
yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini,
yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar
pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah
melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan
mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa
Versi lain
Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda
setengah jam telah memiliki pertanda dari alam. Putri lahir ditengah
cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul saat
cuaca membaik.
Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah
kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan berakhlak lembut, penyabar, dan
pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan mencemaskan.
Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang dan
Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren dengan harapan anaknya bisa
berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi tanpa bisa
dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren.
Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi
putri suluangnya, keteledoran Putri membuat gudang dimana ia biasa
bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah yang
berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik
permanen.
Takut bakal dihukum akibat perbuatannya,
Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke perangkat Julig,
seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah.
Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan
untuk pembangunan sebuah resort di pinggir pantai yang dikelola Darwin
seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni hutan tepi
pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh
Julig dan Darwin.
Saat Awang dan Sari dibuat bingung
mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak biaya, Putri malah
hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan
pekerjaan sebagai pendamping anak tunggal mereka Elok.
Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh
kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri yang telah
mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan
Sugari sudah tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana
jin.
Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris
diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga dengan Awang dan Sari
serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan karena
mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun.
Lagi-lagi suasana tentram hanya
berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah terbiasa
bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah
terancam bangkrut.
Sikapnya terhadap keluarga juga sangat
buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu seperti pembantu, Putri
juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang berusaha
membela Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan
sedikit pun, hingga menemui ajalnya.
Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi
keluarga yang semakin morat-marit, apa yang harusnya terjadi tidak bisa
dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat kelakuan
Putri. Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada
suami-istri jin Ranggada dan Sugari.
Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah
atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi sebuah patung batu yang
terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon, air itu
adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat